Buruknya pengelolaan kawasan situs memunculkan resistensi terus-menerus dari masyarakat di sekitar situs. Konflik dari berbagai pemangku kepentingan ikut memperburuk pengelolaan situs.
Hal itu terungkap dalam berbagai penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) di tiga kawasan situs, yaitu Trowulan, Candi Borobudur dan banten lama. Hasil penelitian PMB-LIPI yang dilakukan sejak 2012 diseminarkan Rabu (18/12) di kantor LIPI, bekerja sama dengan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI).
Dedi Supriadi Adhuri dari tim peneliti LIPI di sekitar situs Borobudur mengatakan, resistensi paling kuat terjadi tahun 1980-an ketika pemerintah menetapkan Borobudur sebagai kawasan taman wisata, bergeser dari sebelumnya taman purbakala.
Hal sama terjadi di Trowulan. Sugih Biantoro yang meneliti Trowulan mengatakan, kekuarangpahaman pemerintah daerah terhadap arti penting situs dan kesejarahan membuat kawasan situs kota itu diperlakukan tidak semestinya.
Herry Yogaswara yang meneliti Banten Lama justru menemukan fakta bahwa kawasan kota bekas kesultanan Banten itu dirundung konflik berkepanjangan dari para ahli waris kesultanan.
Menurut Catrini P. Kubontubuh, Direktur Eksekutif BPPI, peran komunitas pencinta pelestarian situs pusaka perlu semakin ditingkatkan untuk ikut mengawal segala bentuk kebijakan pemerintah. (IND/Kompas 20 Desember 2013 hal. 13)